Home Sejarah

Bolehkah Patung Ganesha Diletakkan Pada Aling-Aling Sebagai Penjaga Gerbang

by Berita Bagus - 15 Desember 2019, 13:35 WIB

Jembrana - Dewa Ganesha, merupakan putra dari Dewa Siwa dan ibunya adalah Dewi Parwati yang merupakan esensi lain dari Dewi Durga.

Seperti kita ketahui, keberadaan Dewa Ganesha di Bali disebut dengan Dewa Gana atau Ganapati atau Winayaka. Ini merupakan Dewa yang memiliki perwujudan campuran yakni bertubuh manusia dan berkepala gajah. Namun demikian, sesungguhnya ada beberapa filosofi yang bisa dipetik dari perwujudan Dewa Ganesha yang gendut tersebut.

Berikut adalah beberapa filosofi yang ada pada Dewa Ganesha, diantaranya :

Pertama, kita mulai dari bagian kepala yang terdiri dari beberapa bagian. Adapun kepala besar melambangkan kita sebagai manusia seharusnya lebih banyak menggunakan akal daripada fisik dalam memecahkan masalah.

Mata yang sipit berarti konsentrasi. Pikiran harus diarahkan ke hal-hal positif untuk memperbaiki daya nalar dan pengetahuan.

Dua telinga besar mengajarkan supaya kita mendengarkan orang lain lebih banyak. Kita selalu mendengar, tetapi jarang sekali kita mendengarkan orang lain dengan baik. 'Dengarkan ucapan-ucapan yang membersihkan jiwa dan seraplah pengetahuan dengan telingamu'.

Satu gading yang patah untuk menggurat Kitab Suci di atas daun ental (lontar). Satu gading berarti kesatuan. Simbol ini menyarankan manusia hendaknya bersatu untuk satu tujuan mulia & suci.

Memiliki mulut yang kecil dan hampir tidak kelihatan karena tertutup belalainya yang dengan rakus 'menghirup rasa' manisan susu ilmu di tangannya. Mulut yang kecil itu mengajarkan agar kita mengontrol gerak mulut dan lidah. Maksudnya adalah bahwa kita harus mengurangi pembicaraan yang tidak-tidak. Sedangkan belalai yang menjulur melambangkan efisiensi dan adaptasi yang tinggi.

Beralih ke badan Ganesha yang besar, hal pertama yang kita lihat pastilah perutnya, karena perut itu memang buncit. Ganesha memang selalu dimanja oleh ibu (Dewi Parwati) atau istri Dewa Siwa sebagai anak kesayangan.

Perut buncit melambangkan keseimbangan dalam menerima baik-buruknya gejolak dunia. Dunia diliputi oleh sesuatu yang berpasangan, yakni pasangan dua hal yang bertolak belakang. Ada senang, ada pula sedih. Ada siang, ada pula malam. Ada wajah suram kesedihan di balik tawa riang kita. Dan sebaliknya, ada keriangan dan semangat dibalik kesenduan kita. Itulah hidup, dan kita harus menyadarinya karena inilah sesungguhnya hukum alam sebab akibat (Rawa Bhineda).

Tangan kanan depan bersikap Abhaya Hasta (memberi berkat) kepada pemuja-Nya atau umat manusia. Selain itu Ganesha juga memberkati dan melindunginya dari segala rintangan dalam usaha pencapaian Tuhan.

Pada tangan kanan belakang memegang kapak, dengan kapak itu beliau memotong keterikatan para bhaktanya dari keterikatan duniawi. Tangan kiri belakang memegang tali dan dengan tali beliau menarik mereka untuk semakin dekat dengan kebenaran, kebajikan, dan cinta kasih serta intelektualitas, kemudian pada akhirnya beliau mengikatnya untuk mencapai tujuan umat tertinggi. Tangan kiri depan membawa modaka (manisan) dipegang oleh Dewa Ganesha perlambang pahala dari kebahagiaan yang beliau berikan kepada pemuja-Nya.

Terakhir, ada seekor tikus yang selalu berada di dekat Ganesha. Tikus, seperti sifat hewan aslinya, adalah hewan yang penuh nafsu menggigit. Hewan pengerat ini memakan apa saja untuk memenuhi hasrat perutnya. Tikus dijadikan lambang nafsu dalam figur Ganesha. Lalu mengapa tikus itu menjadi tunggangan Ganesha yang berbadan berat & tinggi ini? Jawabannya sangat sederhana, tikus yang diibaratkan sebagai nafsu harus ditundukkan. Kita harus bisa menjadikan nafsu sebagai kendaraan sehingga kita dapat mengendalikan nafsu.

Namun, saat ini justru sebaliknya banyak manusia kini menjadi kendaraan dari nafsunya sendiri. Banyak dari mereka yang tidak bisa mengendalikan nafsunya sendiri sehingga mereka terkadang dibuat susah oleh nafsunya sendiri. Nah itulah sedikit penjelasan dari filosofi Dewa Ganesha, semoga bermanfaat dalam kehidupan ini.

Hal inilah yang menjadikan kontroversi jika patung Dewa Ganesha diletakkan atau dipasang pada aling-aling pintu gerbang, karena Dewa Ganesha sangatlah disucikan.

Menurut Jro Mangku Suardana, salah seorang Pemangku di Pura Dangkahyangan Rambutsiwi, Minggu (15/12) mengatakan, memang di era sekarang masih menjadi kontroversi karena keberadaan Dewa Ganesha sangat disucikan oleh umat Hindu, namun sebenarnya sah-sah saja meletakkan patung Dewa Ganesha pada aling-aling pintu gerbang.

Menurutnya, untuk mencari kebenaran ada 3 hal yang menjadi patokan dasar, diantaranya : Pertama adalah Sastrata, dibenarkan oleh Kitab Suci. Kedua ialah Guruta, dibenarkan oleh orang yang paham, tidak melihat besar kecil atau tua muda tetapi catatannya adalah tahu, mengerti dan paham. Ketiga yakni Swata, adalah berdasarkan pengalaman pribadi, apakah kita pernah melihat hal itu. Tiga hal inilah yang dijadikan pakem untuk mencari kebenaran sejati sehingga dibawa kemanapun dan kapanpun tidak akan salah serta tidak akan terpengaruh oleh apapun dan siapapun.

Lebih lanjut, Jro Mangku Suardana memaparkan beberapa kutipan sastra yang mebenarkan pemasangan patung Dewa Ganesha pada aling-aling pintu gerbang, diantaranya :

Dewi Parwati (shakti Siwa) menginginkan dirinya privacy. Ia menciptakan pelindungnya sendiri. Mahluk yang tercipta itu adalah Ganesha, kemudian disuruh oleh Parwati menjaga pintu gerbangnya rumahnya. Ketika Siwa hendak masuk dihadang, dihadang oleh Ganesha. Terjadi perkelahian antara keduanya (Kinsley, 1987:44).

Cerita berikutnya, Ganesha menjaga pintu GERBANG Siwa ketika Parasurama hendak masuk dihadang oleh Ganesha karena Dewa Siwa (ayah Ganesha) sedang meditasi, sehingga terjadi perkelahian antara keduanya. Bhatara Gana memanjangkan belelainya, menangkap dan memutar Parasurama. Parasurama melepaskan senjata kapaknya, tepat mengenai taring Ganesha. Taring Ganesha patah satu, sehingga disebut Ekadanta (Wilkins, 1991:327).

Kedua cerita di atas menyatakan bahwa Ganesha adalah Sang Penjaga Gerbang yang tangguh. Ganesha hanya dapat dikalahkan oleh ayahnya sendiri (Dewa Siwa) dan Parasurama yang bersenjatakan kapak.

Di tanah Bali fungsi Ganesha sebagai Sang Penjaga Gerbang, pada pintu Gerbang diwujudkan berupa ulap-ulap, yaitu secara kain kapan yang ditempel pada bagian atas kori (pintu/gerbang) bergambar rerajahan Ganesha. Selain itu Ganesha juga sebagai Dewanya wuku Sungsang menempati arah Barat Laut.

Sebagai Dewa Mata Angin, Ganesha disebutkan dalam Kitab Tantu Panggelaran cerita III. Disebutkan Mahameru punya empat pintu gerbang yang disebut Panaturmuka. Ganesha ditugaskan menjaga gerbang Mahameru yang menghadap ke Timur (Pigeaud dalam Sedyawati, 1994:227-228).

Dalam kamus bahasa (Semadi, 1986:153), kata Grama berarti ‘desa’, ‘Klen’ atau ‘Masyarakat’. Jadi Gramadewa dapat diartikan Ganesha sebagai dewa pelindung desa atau pelindung masyarakat. Sehingga fungsi ini tidak lepas dari kedudukan Ganesha sebagai wighneswara, penjaga pintu gerbang dan dewa mata angin yang kemudian diterapkan dalam penataan desa.

"Dewa Ganesha juga dinobatkan sebagai Dewa Pujaan Pertama, sehingga menjadi sangat tepat jika dipasang pada aling-aling karena siapapun orang yang masuk pertama kali akan melihat patung-Nya. Jika ada yang mengatakan Dewa Ganesha akan cemer ketika dilewati keluarga meninggal (jenazah) karena patungnya dipasang pada aling-aling gerbang, pertanyaannya apakah pura atau merajan kita yang berkedudukan di bawah tidak cemer dihadapkan pada era sekarang sangat banyaknya pesawat yang menerbangkan jenazah? Disinilah kita harus mampu bersikap bijak, karena bagi umat Hindu khususnya di Bali akan mengalami kesebelan baik perahyangan (merajan), pawongan (manusia) dan pelemahan (pekarangan) ketika ada keluarga meninggal dunia. Tetapi berikut kita akan sucikan kembali dengan upacara pecaruan, prayascita dan sebagainya", jelas Jro Mangku Suardana.

Pria berusia 45 tahun yang saat ini juga menjabat sebagai Sabha Walaka PHDI Kabupaten Jembrana ini juga menegaskan, jika sudah berani melinggihkan patung Dewa Ganesha di pekarangan rumah haruslah diupacari dan kita sudah pasti harus bisa mengendalikan segala bentuk keterikatan kita dari keduniawian dan selalu berjalan pada jalan yang benar dengan selalu berbuat baik yang pastinya tidak merugikan diri sendiri juga orang lain agar bisa mendapat phala yang baik dari setiap persembahan yang kita lalukan.

"Akhinya, kita kembali pada diri sendiri karena inzan Hindu selain berpakem pada Sastra juga mengadopsi Atmanastuti dan kesucian itu sesungguhnya tidak hanya di pura atau di merajan atau pada patung serta aling-aling tetapi lahir dari dalam diri kita sendiri", tutupnya. (Red)

Share :

Berita Popular